Ged a Widget

Minggu, 13 Oktober 2013

ASAL USUL AKSARA JAWA


Pada suatu hari datanglah seorang pertapa yang masih muda bernama Aji Saka dari Hindustan. Aji Saka disertai dua orang abdinya pergi melawat ke Tanah Jawa. Ia bersama dua abdinya menjelajahi masuk kota dan desa. Kedatangan di Tanah Jawa bermaksud menyebarkan ilmu pengetahuan.
Suatu ketika ia bersama kedua abdinya ke negara Medang, tetapi dalam perjalanannya mereka bertiga singgah terlebih dahulu ke pegunungan Kendeng. Aji Saka berkata kepada Sembada, abdinya. Katanya,”Sembada! Besok saya akan ke Medang, dan keris pusakaku ini saya tinggal di sini. Kupercayakan keris pusakaku kepadamu. Siapapun yang datang meminta, jangan kauberi. Bila aku memerlukan akan saya ambil sendiri. Ingatlah pesanku!”
Selesai berbicara, berangkatlah Aji Saka ke negeri Medang seorang diri. Sampailah Aji Saka di negeri Medang.
Aji Saka tiba di desa terpencil. Ia bertamu ke rumah seorang janda tua bernama Mbok Rondo Sengkeran.
Ia bertanya kepada Mbok Rondo, “Apakah di sini negeri Medang?”
Jawab Mbok Rondo, “Betul! Tuan dari mana? Dan apa maksud Tuan datang di tempat ini?”
Jawab Aji Saka, “Aku seorang kelana dari jauh. Aku datang di negeri ini hanyalah melihat-lihat keluhuran negeri Medang. Apabila mungkin, aku ingin mengabdi kepada Sang Pabu!”
Berkata si janda tua, “Tuan, janganlah engkau mengabdi kepada Sang Prabu. Sebab Sang Prabu gemar makan daging manusia. Lihatlah! Tempat ini kosong, penduduk banyak mengungsi karena takut. Saya ini masih hidup karena usia saya sudah tua, daging saya sudah a lot. Tuan masih muda, jangan mendekati Sang Prabu. Tuan pasti akan dimakannya.”
Begitulah untuk sementara Aji Saka tinggal di rumah Mbok Rondo Sengkeran.
Setiap hari Sang Baginda menyantap daging manusia. Dan setiap hari pula kerja patih kerajaan Medang mencarikan seorang sebagai persembahan kepada Baginda.
Aji Saka ternyata seorang yang sakti. Ketika para penduduk yang ketakutan berlari mengungsi, ia meminta para penduduk itu tinggal bersamanya di rumah Mbok Rondo Sengkeran.
Sekali lagi si janda tua tersebut mengingatkan kepada Aji Saka. “Urungkanlah niat Tuan. Lebih baik tinggalkanlah tempat ini!” katan Mbok Rondo.
Berkatalah Aji Saka, “ Mbok, kau tidak usah merisaukan keselamatan diriku! Tolong antarkan aku ke rumah patih agar nanti diantar menghadap Sang Prabu.”
Mbok Rondo Sengkeran mengantar Aji Saka menghadap Patih. Di hadapan Patih, Aji Saka mengutarakan maksudnya ingin mengabdi kepada Sang Prabu. Sang Patih melihat Aji Saka tertegun karena sikap baiknya. Memang Aji Saka seorang pemuda yang bijaksana lagi tampan. Dalam benak Sang Patih, ia merasa saying bila Aji Saka diserahkan kepada Sang Prabu.
Kata Sang Patih, “baiklah! Engkau akan kuhadapkan kepada Sang Prabu. Engkau harus tahu tugasmu nanti. Karena tidak mudah mengabdi kepada Sang Baginda Raja Medang.”
Jawab Aji Saka, “Hamba tidak gentar berhadapan dengan Sang Baginda! Hamba tetap pada pendirian semula, yaitu akan mengabdi kepada Sang Prabu. Apabila hamba tidak mati apakah hamba dapat minta hadiah sebidang tanah seluas sorban (ikat kepala) ini?”
Sang Patih menyanggupi permintaan Aji Saka. Lalu diajaklah Aji Saka ke istana. Sewaktu makan, Aji Saka mengubah dirinya menjadi seorang kanak-kanak yang cantik. Sang Prabu sangat senang melihatnya. Kanak-kanak tadi ditimangnya. Saat menimang tersebut, Sang Prabu bernafsu untuk melahapnya. Tetapi, Aji Saka yang sakti dengan cekatan memegang bibir atas dan bibir bawah, lalu disobeklah mulut Raja Medang hingga meninggal.
Setelah peristiwa tewasnya Sang Baginda, Aji Saka berubah wujud seperti semula. Aji Saka pergi ke ruma Patih memberitahukan bahwa Sang Baginda telah mati terbunuh. Senanglah hati Sang Patih mendengar laporan Aji Saka.
Kemudian Aji Saka menagih janji kepada Sang Patih. Ikat kepalanya dilepas dan dibentangkan di atas tanah. Ikat kepala semakin melebar, meluas hingga meliputi desa dan kota, hutan, gunung, lembah dan ngarai. Akhirnya seluruh kerajaan Medang menjadi miliknya.
Sang Patih tidak dapat berbuat apa pun. Rakyat Medang merasa lega karena raja yang gemar makan daging manusia telah tewas. Rakyat berterima kasih kepada Aji Saka yang telah membebaskan rakyat dari kebengisan rajanya. Akhirnya Aji Saka dinobatkan sebagai raja di Medang.
Penduduk yang mengungsi ke daerah lain kembali ke rumah mereka masing-masing. Mereka mulai mengolah sawah, menanami lading. Sungguh menjadi tempat yang ramai. Di bawah pemerintahan Raja Aji Saka, negara Medang mengalami masa kejayaan. Rakyat hidup dengan tenteram. Teringatlah Aji Saka akan kerisnya.
Dipanggilnya Dora. Aji Saka berkata, “Hai, Dora! Pergilah kau ke pegunungan Kendeng! Ambillah kerisku! Katakan bahwa aku sedang sibuk!”
Jawab Dora, “Ya, Tuanku! Hamba siap berangkat.”
Pergilah Dora ke pegunungan Kendeng. Sesampai di tempat, Dora memberi salam kepada Sembada. Dan keduanya asyik berdialog melepaskan rindu. Kemudian Dora menyampaikan maksud kedatangannya diutus Aji Saka untuk mengambil keris pusaka milik tuannya itu.”
Mendengar maksud kedatangan Dora, dengan tegas Sembada menolaknya. Kata Sembada,”Pesan Tuanku Aji Saka, bahwa keris pusaka ini tidak boleh diberikan kepada siapapun. Bila Tuanku memerlukan ia pasti akan datang sendiri ke tempat ini. Dan lagi tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum Tuanku datang!”
Demikianlah pula Dora merasa bahwa ia mendapat tugas dari Tuannya. Ia tidak mengada-ada.
“Aku membawa surat kuasa bukti perintah Baginda”, Kata Dora.
“Aku tak peduli, aku tetap berpendirian bahwa pesan dan amanat Baginda Aji Saka kepadaku harus kupegang teguh, bahwa siapapun tak berhak mengambil keris pusaka milik Baginda kecuali Baginda sendiri.”
“Aduh Kakang Sembada, aku terpaksa menggunakan jalan kekerasan.”
“Aku tidak menyalahkanmu Dora, aku tetap akan mempertahankan pusaka ini.”
Kedua abdi tersebut saling mempertahankan perintah Aji Saka, keduanya tidak mau mengalah. Akhirnya terjadilah baku hantam di antara keduanya. Kedua abdi tersebut, Dora dan Sembada adu kekuatan, adu kepandaian, dan adu kesaktian. Memang kedua abdi tersebut sama-sama sakti.
Keduanya sama-sama unggul. Adu kesaktian kedua abdi itu mengakibatkan keduanya tewas. Mereka masing-masing mempertahankan perintah Tuannya. Lebih baik mati daripada mengkhianati perintah Tuannya.
Utusan Aji Saka lama tak kembali. Khawatirlah Aji Saka dan cemas menanti kedatangan abdi yang setia, Dora dan Sembada tak kunjung datang. Akhirnya Aji Saka meninggalkan istana pergi ke pegunungan Kendeng untuk menyusul Dora dan Sembada. Setelah sampai di pegunungan Kendeng, terkejutlah Aji Saka melihat mayat Dora dan Sembada tergeletak di tanah.
Ingatlah Aji Saka apa yang pernah dipesankan pada Sembada. Dora dan Sembada, kedua abdi kesayangannya tewas demi tugas yang diembannya. Kematian mereka berdua sebagai bukti kesetiaan dan kepatuhan terhadap Tuannya. Dengan kematian dua abdi setia, Aji Saka menciptakan huruf-huruf untuk mengabadikan kesetiaan dua abdi dalam melaksanakan tugas. Huruf Jawa tersebut dikenal dengan Carakan.
Sususnan huruf Jawa tersebut, sebagai berikut:
Ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa dha jay a nya
ma ga ba tha nga

Ada utusan
pada bertengkar
sama saktinya
mati bersama.

Kisah Aji Saka Dan Asal Mula Aksara Jawa


Pada zaman dahulu kala, di Desa Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah. Hidup seorang kesatria bernama Ajisaka. Dia seorang tampan dan memiliki ilmu yang sangat sakti. Ajisaka memiliki dua orang punggawa bernama Dora dan Sembada. Mereka berdua setia menemani Ajisaka. Suatu hari, Ajisaka ingin pergi berkelana, bertualang meninggalkan Pulau Majethi. Kemudian Ajisaka pun pergi bersama dengan Dora. Sedangkan Sembada tetap tinggal di Pulau Majethi. Sebelum pergi Ajisaka berpesan kepada Sembada untuk menjaga keris pusaka Ajisaka dan membawanya ke Pegunungan Kendeng.

“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Jagalah keris ini baik-baik dan jangan serahkan kepada orang lain sampai aku datang kembali untuk mengambilnya!” Aji Saka berpesan kepada Sembada.

“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga keris pusaka ini dan tidak akan memberikan kepada siapapun!” jawab Sembada.

Pada waktu itu di Jawa ada negeri yang terkenal makmur, aman, dan damai, yang bernama Negeri Medang Kamulan. Negeri itu dipimpin oleh Prabu Dewata Cengkar, seorang raja yang berbudi luhur dan bijaksana. Ia selalu memberikan yang terbaik untuk rakyatnya. Sehingga Negeri Medang Kamulan sejahtera. Namun semuanya berubah bermula ketika sang juru masak kerajaan teriris jarinya saat memasak. Sehingga potongan kulit dan darahnya pun masuk ke dalam sup yang akan disuguhkan kepada Sang Raja. Kemudian ia pun menyajikan masakannya kepada Prabu Dewata Cengkar. Prabu Dewata Cengkar langsung melahap habis sup tersebut ia merasa sup yang disajikan sangat lezat, kemudian ia mengutus patihnya yaitu Jugul Muda untuk menanyai juru masak kerajaan. Kemudian sang juru masak berkata bahwa ia tidak sengaja teriris jarinya menyebabkan kulit dan darahnya tercampur masuk ke dalam sup yang dihidangkan untuk Prabu Dewata Cengkar.

Setelah kejadian itu Prabu Dewata Cengkar memerintahkan kepada patihnya untuk menyiapkan seorang rakyatnya untuk disantap setiap harinya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging dan darah manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis, jahat dan senang melihat orang menderita. Negeri Medang Kamulan pun perlahan berubah menjadi negeri yang sepi karena satu per satu rakyatnya disantap oleh rajanya, namun ada juga rakyat yang pergi mengungsi ke daerah lain.

Ajisaka bersama Dora saat itu tiba di Hutan yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong.

“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong...!!!” demikian suara itu terdengar.

Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.

“Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.

Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu.

“Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.

Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamulan. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar setiap hari mengincar rakyatnya untuk di hidangkan. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, lelaki itu kabur dari negeri itu.

Aji Saka dan Dora tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.

“Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran.

“Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan kulit jari dan darahnya itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.

Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamulan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamulan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya mereka sampai di Kerajaan Medang Kamulan. Ajisaka pun melihat keadaan negeri Medang Kamulan yang sunyi dan menyeramkan itu. Semua penduduk pergi meninggalkan negeri itu.

“Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora.

“Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas.

Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana.

“Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang istana.

“Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu.

“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu,” jawab Aji Saka.

“Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang pengawal yang lain.

“Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.

Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa.

“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.

Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata:

“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil menunjukkan sorban yang dikenakannya.

Permintaan itu dikabulkan oleh Sang Prabu. Ajisaka kemudian meminta Prabu Dewata Cengkar menarik salah satu ujung sorbannya. Ajaibnya, sorban itu setiap diulur, terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Karena saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur serban itu sampai di pantai Laut Selatan. Kemudian Ajisaka mengibaska sorban tersebut, hal ini membuat Prabu Dewatacengkar terlempar ke laut. Wujud Prabu Dewata Cengkar lalu berubah menjadi buaya putih.

Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga keadaan seluruh rakyatnya pun kembali hidup tenang, aman, makmur, dan sentausa. 

Setelah beberapa hari, Ajisaka menyuruh Dora pergi ke Pulau Majethi untuk ngambil keris pusaka yang dijaga oleh Sembada.

“Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil keris pusakaku. Katakan kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” kata Ajisaka.

“Baik Tuan!” jawab Dora seraya memohon diri.

Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada.

“Sembada, sahabatku! Kini Tuan Ajisaka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora.

“Tidak, sabahatku! Tuan Ajisaka berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.

Sembada yang patuh pada pesan Ajisaka tidak memberikan keris pusaka itu ke Dora. Dora tetap memaksa agar pusaka itu segera diserahkan. Akhirnya keduanya bertarung tanpa ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih baik mati daripada mengkhianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Namun karena mereka memiliki ilmu yang sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.

Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng.

“Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka.

Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya ia saat tiba di sana. Ia mendapati kedua pengikut setianya Dora dan Sembada telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana yang bunyinya :



ha na ca ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (sama-sama menjaga pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)

Tidak ada komentar: