KISAH DEWA RUCI
Cerita
tentang AJARAN DEWA RUCI KEPADA ARYA WREKUDARA/ARYA SENA/BIMA ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi
tugas gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta),
yang disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga
berjudul:"SERAT DEWARUCI KIDUNG" yang
disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus
tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
Seperti apa kisahnya, maka kami informasikan intisarinya
yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan nama negeri Amarta,
ingin menjerumuskan pihak Pandawa di negeri Astina,(yang
sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui
perantaraan Guru Durna. Sena yang adalah murid guru
Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan
demi kesucian badan ,maka diharuskan mengikuti perintah sang Guru
untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena yang telah
yakin tidak mungkin teritipu dan dibunuh oleh anjuran Gurunya, tetap
berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat
sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu
Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang membahas bagaimana caranya Pandawa
dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda,
bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena,
Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma,
Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
|
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia
telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan,
menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam
triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci
ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam
gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu
keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan
Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di
gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan
bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang
dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka
dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun
walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa
terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian
.......Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah,
ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena
mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih
hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena
kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, Sena mendengar suara tak berwujud
: "Wahai cucuku yang sedang bersedih,enkau mencari tidak
menjumpai, engkau tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda
yang kau cari itu, sungguh menderita dirimu". Diceritakan saat Sena
sudah pasrah..... suara itu yang ternyata adalah dua dewa, Sang
Hyang Endra dan Batara Bayu, yang memberitahu bahwa dua raksasa
yang dibunuh Sena,ternyata memang sedang dihukum Hyang Guru. Lalu
dikatakan juga agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar
kembali ke Astina.Perintah inipun dituruti lagi.........
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi
Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya
Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya,
terkejut....! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang
perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji,
sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana
juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun lalu ia pergi
lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para
kerabatnya berada)
Sementara itu di Astina keluarga Sena ynag
mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna
di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah
Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan
jatuhnya bencana dari dewata yang agung.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena,
yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan
Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak
disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian
air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan
semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan,
naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung
menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru
datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh
menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak
benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang
Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka
akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah
kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna
dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta
Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi
laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan
perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala
mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di
laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring
tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan
bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak
kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap
di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut
bergembira.
|
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon
penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak
akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan
datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas,
diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening.
Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
|
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di
samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil
bermain-main di atas laut, bernama Dewa
Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal
di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada
makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin,
jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai
Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian
tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang
dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini
tidak mungkin ditemukan".
"Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang
Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun
keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki
keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu,
Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah
Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa,
kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari
air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk,
itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati
hidupnya", lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu
rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan
meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh
dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira
emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang
harus disembah".
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang
Kenyataan
"Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam
tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini
bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun
tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar
mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera
dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya
melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak
tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas,
depan dan belakang. Kemudian, terang,
tampaklah Dewa Ruci, memancarkan
sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman
rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa
Ruci:"Yang pertama kau lihat cahaya,
menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya
hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas
pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal,
mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah,
hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang
hati.
Yang hitam
kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi
tindakan yang baik. Yang merah
menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati,
menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang
tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga
hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi,
persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat,
berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut
Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak
berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa
bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat
tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di
dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri
tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh,
tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika
berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang
mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak
menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai
segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma
ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana
Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan
punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku,
jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi
lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat
dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan
tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak
dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana,
keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak
dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu
dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan
manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang
memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia
merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh
menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan
benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan
tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana,
tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan
suara.
Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah
laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu
juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan,
semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam
segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan
dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan
mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang
mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang
menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya
terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan
anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci
:"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang
didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian,
kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara
melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara
tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan,
gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna
dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya
tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar,
akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan
kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian
seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai
kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru,
mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata.
Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan,
bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi
ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari
pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi
keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang
dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan
yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam
yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang
tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh
Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada
dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu
hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal
dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan
jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden
Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling
hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan
ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya.
Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang
bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang
berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan
kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat
ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa
perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di
lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna
berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah
terjadi ini".
Sampai disini cerita singkat tentang Dewa Ruci.
|
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
Orang Jawa menganggap cerita wayang
merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli
wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara
Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.
Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk
menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya
bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti
atau sari dari pada ilmu suci.
Hutan
Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu
dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya
rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk
mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau
mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat
diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
1.
Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan
jiwanya dengan air.
2. Pada
waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk
hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur
berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat
penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia
bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang
kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi
Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua
raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil
membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk
mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini
melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala
adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan
material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain
(kamulyan)
Bima tidak akan mungkin
melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila
pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena
kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua
raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus
halangan-halangan tersebut.
Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu
tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa
ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra
Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti
luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular
adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu
pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk
mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan
kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
1.
Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang
lain.
2. Legawa
: harus selalu bersikap baik dan benar.
3.
Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4.
Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia
tidak akan membalas, tetap sabar.
5.
Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan
dan kebenaran.
6.
Santosa : selalu
beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara
lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan
jahat.
7.
Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya,
tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari
kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8.
Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9.
Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu
mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan
antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak
harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus
dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah
mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak
boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan
pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma
Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan
menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma
Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci
melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas
seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran
spiritual dari pertemuan ini adalah :
Bima
bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya,
memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
Kedatangan
dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu
bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam
paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka
untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima
pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam,
dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai
kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam
hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan
kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi
kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan
kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan
Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan
yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang
Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan,
kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci
yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang
mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol
nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima
sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde
besar dari kayu asem
Kata asem
menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk
kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda
emas diantara mata.
Artiya Bima
melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku
Pancanaka
Bima
mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan
:
1.
Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2.
Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral
baik itu kalah banyak.
Contohnya
lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis
dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar