Pembangunan
Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
PENDAHULUAN
Perbincangan tentang “Pembangunan Berkelanjutan” atau “suistainable development” sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru baik lihat secara global maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik dan oleh karenanya masih menunjukkan banyak kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan dan mempunyai banyak gejala pada tatanan implementasi atau pelaksana.
Perbincangan tentang “Pembangunan Berkelanjutan” atau “suistainable development” sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru baik lihat secara global maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik dan oleh karenanya masih menunjukkan banyak kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan dan mempunyai banyak gejala pada tatanan implementasi atau pelaksana.
Sebagai sebuah
konsep, pembangunan yang berkelanjutan yang mengandung pengertian sebagai
pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi lingkungan
hidup dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam konferensi
Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan
agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan (Soerjani,
1977: 66), menurut Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm membahas masalah
lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan
memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development) (Rangkuti,2000:27)
* Makalah Bahasan
Pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII. Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, Denpasar, Bali 14 – 18 Juli 2003.
** Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum UNLAM, Pascasarjana UNLAM, Pascasarjana Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari, Fakultas Hukum UNLAM, Fakultas Syariah IAIN Antasari dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam (STIHSA) Banjarmasin, Sekarang sebagai Hakim Agung pada Makamah Agung RI.
** Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum UNLAM, Pascasarjana UNLAM, Pascasarjana Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari, Fakultas Hukum UNLAM, Fakultas Syariah IAIN Antasari dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam (STIHSA) Banjarmasin, Sekarang sebagai Hakim Agung pada Makamah Agung RI.
Dilaksanakannya
konferensi tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB untuk
menanggulangi dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi. Bertepatan
dengan di umumkannya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa
Pembangunan Dunia ke–2 “(The Second UN Development Decade) yang dimulai pada
tanggal 1 Juni 1970, Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan
tindakan nasional serta Internasional guna menanggulangi “proses pemerosotan
kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian
ekologis, demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum
PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk
mencurahkan perhatian kepada usaha “melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan
negara yang sedang berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara
serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan
Nasional, berikut skala prioritasnya (Hardjasoemantri, 200:7). Amanat inilah yang
kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang dapat
dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep “Pembangunan
Berkelanjutam”
Pengeruh Konferensi
Stocholm terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin dari perkembangan dan
peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan terbentuknya
perundang-undangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk di Indonesia
(Silalahi, 1992:20). Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disyahkan oleh
resolusi SU PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya
Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat
dalam konferensi ini dapat dilihat dari penilaian negara peserta yang
mengatakan bahwa deklarasi dianggap sebagai “a first step in developing
international environment law” (Silalahi,1992:20).
Bagi Indonesia konsep
ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang relatif baru. Menurut Emil Salim,
inti pokok dari Pembangunan yang lama tidak mempertimbangkan lingkungan, dan
memandang kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus dibayar (yayasan SPES,
1992:24-25) . Walaupun demikian konsep ini sebenarnya sudah dibahas mendahului
Konferensi Stockholm dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Pembangunan Nasional di Bandung tanggal 15-18 Mei 19972 sedangkan Konferensi
Stockholm berlangsung tanggal 15-18 Juni 1972. Menurut Daud Silalahi Seminar
Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional 1972 di UNPAD
yang bekerjasama dengan BAPPENAS telah mengawali konsep pembangunan yang
berwawasan lingkungan (ecodevelopment). Menurut pendapatnya pertemuan ini
membawa pengaruh pada pengaturan hukum lingkungan dan pada konsep pembangunan
dengan masuknya pertimbangan lingkungan dalam setiap keputusan rencana
pembangunan (Silalahi,1991:2).
Seminar Lingkungan
Hidup dan Pembangunan Nasional (1972) dengan tema yang sangat menarik “hanya
dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik, dan
hanya dengan lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal” (Soemarwoto, 1983:xi)
oleh Otto S. dinilai sebagai suatu tonggak sejarah tentang permasalahan
lingkungan hidup di Indonesia. (Soemarwoto, 1983:1). Karena itu perbincangan
tentang pembangunan tentang Pembangunan Berkelanjutan sudah dibahas di
Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, namun hingga sekarang masih menjadi
masalah yang belum dapat diwujudkan secara baik.
Dalam kurun waktu tersebut bangsa Indonesia telah berusaha untuk menjadikan Pembangunan Berkelanjutan sudah dibahas di Indonesia sebagai pembangunan yang berkelanjutan bahkan ditambah dengan berwawasan lingkungan, namun prakteknya menunjukkan lain. Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan hidup, Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 menyebutkan bahwa Konsep Pembangunan Berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah sebuah harapan yang harus kita wujudkan dan dalam upaya mewujudkannya itu peranan hukum menjadi sangat relevan.
Dalam kurun waktu tersebut bangsa Indonesia telah berusaha untuk menjadikan Pembangunan Berkelanjutan sudah dibahas di Indonesia sebagai pembangunan yang berkelanjutan bahkan ditambah dengan berwawasan lingkungan, namun prakteknya menunjukkan lain. Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan hidup, Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 menyebutkan bahwa Konsep Pembangunan Berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah sebuah harapan yang harus kita wujudkan dan dalam upaya mewujudkannya itu peranan hukum menjadi sangat relevan.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
HIDUP .
Pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yang kita pergunakan disini
adalah merupakan terjemahan dari “suistainable development” yang sangat populer
dipergunakan di negara-negara Barat. Istilah Pembangunan Berkelanjutan” secara
resmi dipergunakan dalam Tap MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN, sedangkan
istilah Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan Hidup” digunakan
dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu
juga dikenal ada lingkungan dan pembangunan, 1988:12) sedang sebelumnya lebih
popular digunakan sebagai istilah “Pembangunan yang berwawasan Lingkungan”
sebagai terjemah dari “Eco-development”
Menurut Sonny Keraf,
sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada
paradigma pembangunan berkelanjutan. Mulai pertama istilah ini muncul dalam
World Conservation Strategy dari the International Union for the conservation
of nature (1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam bukunya Building a
Suistainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat popular
melalui laporan Bruntland, Our Common Future(1987). Tahun 1992 merupakan puncak
dari proses politik, yang akhirnya pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di
Rio de Jainero, Brazil, paradigma Pembangunan Berkelanjutan di terima sebagai
sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia (Keraf,
2001:1,2002:166).
Perkembangan
kebijakan lingkungan hidup, menurut Koesnadi Hardjosoemantri, didorong oleh
hasil kerja World Commission on Environment and Development, disingkat WECD.
WECD dibentuk PBB memenuhi keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161
dan dipimpin oleh Nyonya Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dan dr. Mansour Khalid
(Sudan). Seorang anggota dari Indonesia, Prof. Dr. Emil Salim. Salah satu tugas
WECD adalah mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan menuju
pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya. WECD telah
memberikan laporannya pada tahun 2000 yang diberi judul “Our Common Future”
yang memuat banyak rekomendasi khusus untuk perubahan institusional dan
perubahan hukum (Hardjasoematri, 2000:12-15). Sedangkan Soerjani menambahkan
bahwa panitia ini menghasilkan laporan yang berjudul “Our Common Future” pada
tahun 1987 (WECD 1987). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
dengan judul “Hari Depan Kita Bersama” 1988. salah satu tonggak penting yang di
pancangkan oleh panitia ini adalah agar pemahaman tentang perlunya wawasan
lingkungan dalam Pembangunan di praktekkan di semua sektor dan terkenal dengan
istilah “Sustainable Development” (Soerjani, 1997:61)
Dalam laporan WECD “Our Common Future” ditemui sebuah rumusan tentang “Suistainable Development” sebagai berikut:
Dalam laporan WECD “Our Common Future” ditemui sebuah rumusan tentang “Suistainable Development” sebagai berikut:
“Suistainable
Development is defined as development that meet the needs of the present
without comprosing the ability of future generations to meet their own needs”
(Tjokrowinoto, 1991:7, Hardjosoemantri,2000:15).
Ada beberapa
penekanan yang kita temukan dalam terjemahan rumusan ini. Dalam terjemahan
Laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan disebutkan “Umat memiliki
kemampuan untuk menjadikan pembangunan ini berkesinambungan (sustainable) untuk
memastikan bahwa Pembangunan ini dapat memenuhi kebutuhanya” (Santosa,
2001:161). Soerjani menterjemahkan dengan “Pembangunan yang mencukupi kebutuhan
generasi sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri” (Hardjosoemantri,2000:15).
Selain itu ada pula
beberapa pakar yang memberikan rumusan untuk lebih menjelaskan makna dari
pembangunan yang berkelanjutan itu antara lain:
1. Emil Salim :
1. Emil Salim :
Yang dimaksud dengan
pembangunan berkelanjutan atau suistainable development adalah suatu proses
pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam sumber daya
manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan
(yayasan SPES,1992:3)
2. Ignas Kleden :
Pembangunan berkelanjutan di sini untuk sementara di definisikan sebagai jenis
pembangunan yang di satu pihak mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber alam
maupun sumber daya manusia secara optimal, dan di lain pihak serta pada saat
yang sama memelihara keseimbangan optimal di antara berbagai tuntutan yang
saling bertentangan terhadap sumber daya tersebut (yayasan SPES, 1992:XV).
3. Sofyan Effendi :
a. Pembangunan
berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang pemanfaatan sumber dayanya,
arah invesinya, orientasi pengembangan teknologinya dan perubahan
kelembagaannya dilakukan secara harmonis dan dengan amat memperhatikan potensi
pada saat ini dan masa depan dalam pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat
(Wibawa,1991:14).
b. Secara konseptual,
pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai transformasi progresif
terhadap struktur sosial, ekonomi dan politik untuk meningkatkan kepastian
masyarakat Indonesia dalam memenuhi kepentingannya pada saat ini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memnuhi kepentingan mereka)
(Wibawa,1991:26).
Berbagai rumusan ini
sedikit banyak dapat membantu pemahaman kita tentang pembangunan berkelanjutan.
Selanjutanya dalam laporan Komisi Dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan tentang “Hari Depan Kita Bersama” (1988) dikemukakan beberapa penegasan lebih lanjut tentang pembangunan berkelanjutan ini. Di katakan konsep pembangunan yang berkesinabungan memang mengimplikasikan batas – bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi dan organisasi sosial sekarang ini mengenai sumber daya lingkungan serta oleh kemampuan biosfer menyerap pengaruhpengaruh kegiatan manusia, akan tetapi teknologi untuk memberi jalan bagi era baru pertumbuhan ekonomi (hal 12).
Selanjutanya dalam laporan Komisi Dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan tentang “Hari Depan Kita Bersama” (1988) dikemukakan beberapa penegasan lebih lanjut tentang pembangunan berkelanjutan ini. Di katakan konsep pembangunan yang berkesinabungan memang mengimplikasikan batas – bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi dan organisasi sosial sekarang ini mengenai sumber daya lingkungan serta oleh kemampuan biosfer menyerap pengaruhpengaruh kegiatan manusia, akan tetapi teknologi untuk memberi jalan bagi era baru pertumbuhan ekonomi (hal 12).
Kemudian ditambahkan
pula bahwa Pembangunan global yang berkesinambungan juga mensyaratkan mereka
yang hidup lebih mewah untuk mengambil gaya hidup dalam batas-batas kemampuan
ekologi planet ini dalam hal penggunaan energi, misalnya. Lebih lanjut penduduk
yang bertambah cepat dapat meningkatkan tekanan pada sumber daya dan
penyelamatan naiknya taraf hidup, jadi pembangunan yang berkesinambungan hanya
dapat dikejar bila besarnya populasi penduduk dan pertumbuhan selaras dengan
potensi produktif yang terus berubah dari ekosistem. Akhirnya pembangunan yang
berkesinambungan bukanlah suatu tingkat keselarasan yang tetap, akan tetapi
lebih berupa suatu proses dengan pemanfaatan sumber daya, arah investasi,
orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan
kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini. Kami menyadari bahwa proses itu
tidak mudah. Pilihan-pilihan yang menyakitkan harus dibuat. Jadi dalam analisis
akhirnya, pembangunan yang berkesinambungan pasti bersandar pada kemauan
politik (hal13).
Dalam menanggapi
rumusan Pembangunan Berkesinambungan, Emil Salim dalam terjemahan laporan ke
dalam bahasa Indonesia mengemukakan bahwa rumusan pembangunan terlanjutkan
memuat dua konsep pokok yakni, pertama, konsep “kebutuhan”, khususnya kebutuhan
pokok kaum miskin sedunia, terhadap siapa prioritas utama perlu diberikan; dan
kedua, gagasan keterbatasan yang bersumber pada keadaan teknologi dan
organisasi sosial yang dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan masa kini dan masa depan. Dengan demikian keprihatinan kemiskinan dan
ikhtiar menanggapi keterbatasan akibat keadaan teknologi dan organisasi sosial
menjadi latar belakang pembahasan masalah-masalah lingkungan dan pembangunan
(hal XXIV).
Pada tulisannya yang lain, Emil Salim mengemukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep pembangunan berlanjut ini, yaitu :
- Pertama, proses pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di topang oleh sumber alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut,
- Kedua, sumber alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas, diatas mana penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya. Penciutan itu berarti berkurangnya kemampuan sumber alam tersebut untuk menopang pembangunan secara berlanjut, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber alam dengan daya manusia.
- Ketiga, kualitas lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik kualitas lingkungan, semakin posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan, supaya memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup.
- Kelima, pembangunan berkelanjutan mengadaikan solidaritas transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pada tulisannya yang lain, Emil Salim mengemukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep pembangunan berlanjut ini, yaitu :
- Pertama, proses pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di topang oleh sumber alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut,
- Kedua, sumber alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas, diatas mana penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya. Penciutan itu berarti berkurangnya kemampuan sumber alam tersebut untuk menopang pembangunan secara berlanjut, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber alam dengan daya manusia.
- Ketiga, kualitas lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik kualitas lingkungan, semakin posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan, supaya memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup.
- Kelima, pembangunan berkelanjutan mengadaikan solidaritas transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pandangan yang tidak
jauh berbeda dikemukakan oleh Ignas Kleden yang antara lain menyatakan bahwa
ada dua hal yang dipertaruhkan disini, yaitu daya dukung sumber-sumber daya
tersebut, dan solidaritas transgenerasi; maksudnya adalah bagaimana kita
mengekang diri untuk tidak merusak sumber-sumber daya yang ada, agar dapat
bersikap adil terhadap masa depan umat manusia. Kegagalan kita untuk memelihara
daya dukung sumber-sumber daya itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah
melakukan sesuatu (sin of commission) sementara kegagalan untuk mewujudkan
solidaritas transgenerasi itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah
melalaikan sesuatu (sin of commission)(yayasan SPES,1992:XV).
Sebagai sebuah
konsep, pembangunan berkelanjutan tidak lepas dari berbagai interpretasi. Moeljarto
Tjokrowinoto misalnya menyebutkan ada interpretasi yang lahir dari pemikiran
kaum environmentalist dan ada pula interpretasi yang datang dari para pakar
dalam donor agencies. Kedua interpretasi pembangunan berkelanjutan tadi
mempunyai implikasi administrative tertentu. Interpretasi yang lain sustainable
development menurut Moeljarto didorong oleh adanya kenyataan tinggi morta
mortality rate proyekproyek pembangunan di negara berkembang. Alokasi input
yang berkesinambungan tidak menjadikan proyek pembangunan tadi berkembang
dengan kekuatan tersendiri. Dikatakan pula bahwa sustainable development atau
pembangunan berlanjut ini mungkin diwujudkan melalui keterkaitan
(interlinkages) yang tepat antara alam, aspek sosio-ekonomis dan kultur.
Dikatakan juga bahwa sustainable development bukanlah suatu situasi harmoni
yang tetap dan statis, akan tetapi merupakan suatu proses perubahan dimana
eksploitasi sumber alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi,
perubahan kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada saat ini dan di masa
mendatang (Wibawa, 1991:6-8).
Pandangan lain
diungkapkan Sonny Keraf. Dikemukakannya bahwa paradigma pembangunan
berkelanjutan adalah sebuah kritik pembangunan di satu pihak tetapi dipihak
lain adalah suatu teori normatif yang menyodorkan praktis pembangunan yang baru
sebagai jalan keluar dari kegagalan developmentalisme selama ini (Keraf, 2002:
173). Sedangkan menurut Mas Achmad Santoso istilah sustainable development
mengandung berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena terminology pembangunan
berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian
(Santoso, 2001:161).
Disamping konsep
sustainable development yang berasal dari WCED, menurut Soerjani muncul pula
batasan tentang pembangunan yang terdukung dari Bank Dunia, World Conservation
Society (IUCN) serta IUCN bersama UNEP dan WWF yang antara lain menekankan pada
perbaikan sosial ekonomi, pelestarian, sumber daya alam dan perhatian pada daya
dukung sumber daya alam dan keanekaragamannya dalam jangka panjang (Soerjani,
1997:66). Konsep ini dirumuskan dalam apa yang dinamakan “ Caring for the
Earth: The Strategy for Sustainable Living “ menggantikan World Conservation
Strategy (WCS) (Hardjosoemantri,2000: 16-17). Dalam rumusan Caring for the
Earth disingkat CE (1991) perumusan tentang sustainable development digariskan
sebagai berikut:
“improving the
quality of human life while living within the carrying capacity of supporting
ecosystem. A sustainable economy is the product of sustainable development. It
maintains ite natural resources base, it can continue to develop by adopting
and through improvement in knowledge, organization, technical efficiency and
wisdom” (Santoso,2001 : 162).
Yang menarik dalam
hubungan ini adalah diakuinya tentang pentingnya peranan hukum untuk menopang
terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Menurut Koesnadi Hardjosoemantri,
pertama kali dalam evolusi konsep pembangunan berkelanjutan upaya telah
dilakukan untuk menggariskan kerangka hukum yang komprehensif untuk menetapkan
pembangunan berkelanjutan. Dalam mengemukakan pentingnya mekanisme hukum dalam
tingkat nasional, regional dan internasional untuk menetapkan dan melaksanakan
pembangunan berkelanjutan. CE menyatakan bahwa hukum lingkungan, dalam
pengertiannya yang luas, adalah sarana esensial bagi mencapai keberlanjutan
(Hardjosoemantri, 2000 : 17-18). Karena itu dalam uraian berikut dikemukakan
tentang landasan hukum bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Konsep pembangunan
berkelanjutan dikembangkan lebih jauh dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di
Rio de Jenairo pada tanggal 3-14 Juni 1992 menurut Manik konferensi ini
merupakan momentum global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dan membentuk kemitraan dunia untuk mencapai kehidupan dan kualitas
dunia, yang lebih baik (Manik, 2003:19). Konferensi ini menghasilkan banyak
keputusan penting antara lain “The Rio Declaration on Environment and
Development” dan agenda 21. prinsip pertama dari The Rio Declaration
menyatakan:” human Beings are as the center of the concern for sustainable
development. They are entitled to a healthy and productive life in harmony with
nature (manusia adalah merupakan perhatian dari pembangunan berkelanjutan.
Mereka berhak untuk mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan produktif yang
harmonis dengan alam).
Selanjutnya
berdasarkan Agenda 21, pada tahun 1992 telah di selenggarakan Sidang Umum PBB
dan The Economic and Social Council (ECOSOC) yang membentuk Commision on
Sustainable Development (CSD) yang beranggota 53 negara yang dipilih oleh
ECOSOC dengan memperhatikan kelayakan distribusi geografis. Sekretariat CSD
berkedudukan di New York dan pertemuan-pertemuan diselenggarakan di New York
dan Genewa. CSD bertujuan untuk : “ ensure the effective follow-up of (UNCED),
as well as to enhance international cooperation and rationalize the
intergovermental decision making capacity for the integration of environment
and development issues and to examine the progress of the implementation of
agenda 21 at the national, regional and international levels, fully guided by
the principles of the Conference, in other to achive sustainable development
(Rangkuti, 2000:46-47). Dengan demikian sudah ada suatu badan dunia yan
menangani pengembangan pembangunan berkelanjutan yang meliputi tatanan nasional,
regional dan international.
Pertemuan terakhir yang membahas tentang pembangunan berkelanjutan ini adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan (2002) sebagai kelanjutan dari KTT Rio de Jenairo. Dalam KTT ini lebih tegas ditegaskan lagi mengenai perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan tidak saja harus dilihat sebagai pembangunan ekonomi semata, akan tetapi harus memperhatikan dimensi sosial yaitu tentang manusianya sendiri dan alam ciptaan Tuhan yang dianugrahkan kepada manusia. Melalui pendekatan tersebut maka pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mempunyai dasar dan landasan yang lebih kokoh untuk diterapkan, hanya saja konsep tersebut masih harus di sosialisasikan secara lebih luas.
Pertemuan terakhir yang membahas tentang pembangunan berkelanjutan ini adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan (2002) sebagai kelanjutan dari KTT Rio de Jenairo. Dalam KTT ini lebih tegas ditegaskan lagi mengenai perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan tidak saja harus dilihat sebagai pembangunan ekonomi semata, akan tetapi harus memperhatikan dimensi sosial yaitu tentang manusianya sendiri dan alam ciptaan Tuhan yang dianugrahkan kepada manusia. Melalui pendekatan tersebut maka pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mempunyai dasar dan landasan yang lebih kokoh untuk diterapkan, hanya saja konsep tersebut masih harus di sosialisasikan secara lebih luas.
LANDASAN HUKUM PEMBANGUNAN BERKELNJUTAN DI INDONESIA
Sebagai tindak lanjut dari seminar pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan nasional (1972) untuk tingkat nasional dan UN conference on the human and environment (1972) untuk tingkat global pemerintah tidak hanya memasukkan aspek lingkungan hidup dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tetapi juga membentuk institusi atau lembaga yang membidangi lingkungan hidup, sejak tahun 1973), aspek lingkungan hidup masuk dalam GBHN (Manik, 2003: 21). Kemudian pengelolaan lingkungan hidup dimasukkan ke Repelita II dan berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan penjabarannya dalam Repelita III. Pada tahun 1998 dibentuk Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian pada tahun 2002 di ubah menjadi Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian pada 2003 dirubah menjadi Mneteri Negara Lingkungan Hidup (LH). Kelembagaan ini mempunyai peranan penting dalam memberi landasan lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di negara kita.
Sebagai tindak lanjut dari seminar pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan nasional (1972) untuk tingkat nasional dan UN conference on the human and environment (1972) untuk tingkat global pemerintah tidak hanya memasukkan aspek lingkungan hidup dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tetapi juga membentuk institusi atau lembaga yang membidangi lingkungan hidup, sejak tahun 1973), aspek lingkungan hidup masuk dalam GBHN (Manik, 2003: 21). Kemudian pengelolaan lingkungan hidup dimasukkan ke Repelita II dan berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan penjabarannya dalam Repelita III. Pada tahun 1998 dibentuk Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian pada tahun 2002 di ubah menjadi Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian pada 2003 dirubah menjadi Mneteri Negara Lingkungan Hidup (LH). Kelembagaan ini mempunyai peranan penting dalam memberi landasan lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di negara kita.
Pada tahun 1982 telah
di Undangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1982 (LN 1982 No. 12) tentang
ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan hidup secara terpadu dengan
mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan pembangunan dengan
pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang dinamakan “pembangunan berwawasan
lingkungan” Undang-Undang ini mempunyai arti penting tersendiri, menurut
Sundari Rangkuti UU LH mengadung berbagai konsepsi dari pemikiran inovatif
dibidang hukum lingkungan baik nasional maupun internasional yang mempunyai
implikasi terhadap pembinaan hukum lingkungan Indonesia, sehingga perlu dikaji
penyelesaiannya perundang-undangan lingkungan modern sebagai sistem keterpaduan
(Rangkuti, 1991 :6).
Dalam pasal 4 huruf d
Undang-Undang ini disebutkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan
hidup adalah “terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan
generasi sekarang dan mendatang”. Mengenai pengertian pembangunan bewawasan
lingkungan dirumuskan dalam psal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa “pembangunan
berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana menggunakan dan
mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan
untuk meningkatkan mutu hidup”. Penjelasan (TLN.3215) menyatakan bahwa
penggunaan dan pengelolaan sumber daya secara bijaksana berarti senantiasa
memperhitungkan dampak kegiatan tersebut terhadap lingkungan serta kemampuan
sumber daya untuk menopang pembangunan secara berkesinambungan. Ketentuan tersebut
selain menggunakan istilah “pembangunan berwawasan lingkungan” juga menggunakan
istilah “pembangunan berkesinabungan” istilah yang disebutkan terakhir dapat
juga dijadikan pedoman istilah “sustainable development” karena kata
“berkesinabungan” dan “berkelanjutan “ dalam bahasa Indonesia mempunyai makna
yang sama.
Hal yang ditegaskan
kembali dalam pasal 3 tentang asas pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pasal
tersebut dikatakan bahwa “pengelolaan Lingkungan Hidup Berazaskan Pelestarian
Kemampuan Lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang
berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Sedangkan
penjelasannya mengataakan bahwa pengertian pelestarian mengandung makna
tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dan peningkatan
kemampuan tersebut. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat
dicapai kehidupan yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, UU ini
mengandung pengertian bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan hanyalah
satu bagian dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat pasal 1 angka 13)
atau sebagai penunjang dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat pasal 3).
Dalam perkembangan
selanjutnya UU No. 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan UU No. 23 Tahun
1997 (LN 1997:68) tentang pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU ini tidak lagi
diadakan pembedaan antara pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan
pembangunan yang berkesinambungan seperti dikemukakan di atas akan tetapi UU
ini menggunakan istilah baru lagi yatu “Pembangunan Berkelanjutan Yang
Berwawasan Lingkungan Hidup. “ Konsideran UU No. 23 Tahun 1997 antara lain
menjelaskan tentang mengapa kita harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan
Yang Berwawasan Lingkungan Hidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa
dalam rangka mendaya-gunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum
seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup
berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan
menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi
masa depan.
Penegasan tersebut
diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup berkaitan erat dengan pendayagunaan SDA sebagai suatu asset
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam pertimbangan berikutnya (huruf c)
ditegaskan bawa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi selaras
dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup. Dalam pertimbangan ini pengelolaan lingkungan
hidup dianggap sebagai penunjang terhadap pelaksanaan pembangunan berwawasan
lingkungabn.
Dalam UU ini
diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup (pasal 1 butir 3). Disebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar
dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam
proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan masa depan.
Selanjutnya dalam UU
ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan
hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem
pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 3 yang menyatakan: “pengelolaan
lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas
keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai “asas
berkelanjutan” penjelasan UU (TLN 3699) menyatakan “asas berkelanjutan
mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap
generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk
terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan
hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi
tumpuannya dalam meningkatkan pembangunan.
Hal ini kemudian
ditegaskan dalam UUD 1945 amandmen ke-4 (2002) yang menambahkan ayat (4) dan
(5) terhadap pasal 33 yang sebelumnya tidak pernah mengalami perubahan yang
menyebutkan: a) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan ekonomi ekonomi nasional b) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanan pasal ini diatur dalam undang undang Sejalan dengan
pembahasan tersebut juga diadakan perubahan terhadap judul Bab XIV
Undang-Undang dasar yang melengkapi pasal tersebut dan judul semula
“Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial”.
Dalam konteks ini
tampak ada penonjolan dimensi ekonomi dalam penguasaan sumber daya alam, yang
perlu mendapat perhatian adalah aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan
bukan hanya berada dalam dimensi ekonomi belaka tetapi juga dalam dimensi
kehidupan menusia termasuk dimensi sosial budaya, kesejahteraan sosial pada
dasarnya juga harus menonjolkan aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan
dengan demikian konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada umumnya dan
sistem hukum lingkungan pada khususnya. Walaupun penjabarannya dalam pengaturan
mengenai pengelolaan sumber daya alam masih belum begitu tampak secara jelas.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Sampai saat sekarang pengaturan tentang bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah dilakukan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Selain pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan pokok juga kita mempunyai seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang hal tersebut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok Kehutanan, kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang no. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok Pertambangan yang direncanakan akan diganti dalam waktu yang segera, Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan, berikut seperangkat ketentuan pelaksanaannya disamping peraturan Perundangundangan lingkungan yang telah kita sebutkan diatas. Selain itu ditemukan pada seperangkat ketetapan MPR yang mengatur tentang hal ini seperti TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam.
Sampai saat sekarang pengaturan tentang bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah dilakukan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Selain pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan pokok juga kita mempunyai seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang hal tersebut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok Kehutanan, kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang no. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok Pertambangan yang direncanakan akan diganti dalam waktu yang segera, Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan, berikut seperangkat ketentuan pelaksanaannya disamping peraturan Perundangundangan lingkungan yang telah kita sebutkan diatas. Selain itu ditemukan pada seperangkat ketetapan MPR yang mengatur tentang hal ini seperti TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam.
Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah dirubah dalam Tahun 2002 berbunyi
selengkapnya :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasi Negara.
3. Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
5. Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang mengenai
pengelolaan sumber daya alam adalah seperti apa yang disebutkan dalam ayat (3)
yaitu melingkupi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.
Ketentuan ini kemudian diperluas dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dengan
menambah unsur ruang angkasa sehingga meliputi “ Bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Ketentuan pasal 33
ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan tentang dua hal yaitu:
1. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai” bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sehingga negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan sumber daya alam di Indonesia.
1. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai” bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sehingga negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan sumber daya alam di Indonesia.
2. Membebaskan serta
kewajiban kepada negara untuk mempergunakan sumber daya alam yang ada untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat menunjukkan kepada kita bahwa rakyatlah yang harus menerima manfaat
kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia. Secara singkat pasal
ini memberikan hak kepada negara untuk mengatur dan menggunakan sumber daya
alam yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia, juga membebankan suatu
kewajiban kepada negara untuk menggunakan sumber daya alam untuk kemakmuran
rakyat, bilamana hal ini merupakan kewajiban negara, maka pada sisi lain adalah
merupakan hak bagi rakyat Indonesia untuk mendapat kemakmuran melalui
penggunaan sumber daya alam.
Pertanyaan yang
muncul adalah rakyat Indonesia yang mana yang paling berhak untuk mendapatkan kemakmuran
dari sumber daya alam Indonesia? Pada dasarnya seluruh rakyat Indonesia yang
berdiam di seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia pada tingkat atau lapisan
manapun mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran tersebut, namun
kalau kita membicarakan siapa yang lebih diutamakan tentu saja masyarakat yang
berada disekitar sumber daya alam itu berada harus lebih diutamakan dari mereka
yang bertempat tinggal jauh dari sumber daya alam yang dimaksud.
Hal ini ditegaskan
antara lain dalam pasal 3 ayat (1) Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tetang
penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan pembangunan dan pemanfaatan sumber
daya yang berkeadilan serta perimbangan keuangan Pusat dan daerah dilaksanakan
secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa keseluruhannya.
Dalam pasal ini
disebutkan lebih dahulu masyarakat daerah dari bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Mengisyaratkan kepada kita bahwa masyarakat setempat harus
diberikan prioritas haknya untuk menikmati kemakmuran dalam pemanfaatan sumber
daya alam ketimbang orang-orang yang jauh bertempat dari sumber daya alam
dimaksud. Hak ini telah diberi penekanan dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah sebagai reaksi dari apa yang selama ini dikenal hegemoni pusat.
Orang-orang yang ada di pusat lebih banyak menikmati kemakmuran dari pada
masyarakat daerah atau masyarakat setempat.
Selain itu kemakmuran
dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam bukan hanya sekedar menjadi hak dari
generasi masa kini saja. Anak cucu kita sebagai generasi mendatang juga mempunyai
hak yang sama untuk menikmati kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya alam yang
tersedia. Karena itu kemakmuran yang ingin diwujudkan menurut Undang-Undang
Dasar adalah bersifat “transgeneration” dan oleh karenanya hak untuk mendapat
kemakmuran harus berkesinambungan atau berkelanjutan (sustainable). Karena hal
ini adalah sejalan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan .
Dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam dimaksud diatur
dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaan lingkungan hidup. Secara umum dalam
pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur lingkungan hidup
yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati maupun non
hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang ini menentukan:
1.Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah.
1.Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah.
2. Untuk melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah:
a) Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
b) Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika.
c) Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika.
d) Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial.
e) Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
a) Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
b) Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika.
c) Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika.
d) Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial.
e) Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Kemudian dalam pasal
9 ayat (3) pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan
penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber
daya buatan, konsensus sumber daya alam hayati dan eksistensinya, cagar budaya,
keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
Pengaturan tentang
pengelolaan sumber daya alam yang dikaitkan dengan pembangunan yang
berkelanjutan tampak dengan jelas dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Pasal 3 dari Undang-Undang ini misalnya menentukan:
“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan:
a) Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran
yang proporsional.
b) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
c) Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
d) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal, dan
e) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Karena itu Undang-Undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan atau “sustainable forest management” .
“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan:
a) Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran
yang proporsional.
b) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
c) Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
d) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal, dan
e) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Karena itu Undang-Undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan atau “sustainable forest management” .
Selanjutnya dapat
disebutkan ada dua ketetapan MPR yang membicarakan pengelolaan sumber daya alam
yang di bukukan sejalan dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, pertama
adalah Tap MPR No. IV/MPR/1999 tetang Garis-Garis Besar Haluan Negara
1999-2004, walau arah kebijakan-kebijakan pembangunan bidang sumber daya alam
dan lingkungan hidup disebut:
1. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi.
1. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi.
2. Meningkatkan
pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan
konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi
ramah lingkungan.
3. Mendelegasikan
secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan
lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan
Undang-Undang.
4. Mendayagunakan
sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan
ruang yang pengusahaanya diatur dengan Undang-Undang.
5. Menerapkan
indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan, keterbatasan
sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak
dapat balik.
Lima prinsip ini
kemudian dijabarkan lebih jauh dalam UU No. 25 Tahun 2000 (LN 2000: 206)
tentang program pembangunan nasional (Propenas).
Dalam gambaran umum
mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup ditegaskan bahwa
peran pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus
dioptimalkan karena sumber daya alam sangat penting peranannya terutama dalam
rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, restribusi dan
bagi hasil yang jelas dan adil serta perlindungan dari bencana ekologis.
Sejalan dengan otonomi daerah pendayagunaan secara bertahap wewenang pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dimaksud
untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi
lingkungan.
Ditegaskan lebih jauh
dalam UU ini, dengan memperhatikan permasalahan dengan kondisi sumber daya alam
dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup ditujukan pada upaya:
1. Mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya.
1. Mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya.
2. Menegakkan hukum
secara adil dan konsisten untuk menghindari kerusakan sumber daya alam dan
pencemaran lingkungan .
3. Mendelegasikan
kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap.
4. Memberdayakan
masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat global.
5. Menerapkan secara
efektif penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui keberhasilan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
6. Memelihara kawasan
konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah
tertentu, dan
7. Mengikutsertakan
masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global. Bilamana
kita teliti penggarisan tentang rencana pembangunan sebagaimana disebutkan
dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 dan UU No. 25 Tahun 2000 khususnya yang berkenaan
dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup – menggambarkan telah
dimasukkannya perkembangan lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan nasional,
sehingga cukup beralasan bahwa di Indonesia, pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan hidup telah dilaksanakan walaupun mungkin baru sebatas
dalam aturan hukum.
Ketetapan kedua yang
perlu mendapat perhatian adalah Tap MPR/IX/2001 tentang pembaharuan Agraria dan
pengelolaan Sumber daya alam pasal 3 ketetapan ini menyatakan bahwa pengelolaan
sumber daya alam yang terkandung di daratan, lautan dan angkasa dilakukan
secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kemudian dalam pasal
4 ditentukan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya harus
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
a) Memelihara dan mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
b) Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
c) Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum.
d) Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia
e) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat.
f) Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, peruntukan, penggunaan, pemanfatan dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
g) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan
h) Melaksanakan fungsional, kelestarian, dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.
i) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar pembangunan antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
j) Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.
k) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat) masyarakat dan individu.
l) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan, ditingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alasan dan pengelolaan sumber daya agraris/sumber daya alam.
a) Memelihara dan mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
b) Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
c) Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum.
d) Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia
e) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat.
f) Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, peruntukan, penggunaan, pemanfatan dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
g) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan
h) Melaksanakan fungsional, kelestarian, dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.
i) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar pembangunan antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
j) Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.
k) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat) masyarakat dan individu.
l) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan, ditingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alasan dan pengelolaan sumber daya agraris/sumber daya alam.
Prinsip-prinsip ini
memberikan landasan formal pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (2) ketetapan ini
menentukan bahwa arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:
a) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sosialisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini.
b) Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan
c) Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
d) Memeperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut.
e) Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai mana dimaksud pasal 14 ketetapan ini.
f) Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
g) Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.
a) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sosialisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini.
b) Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan
c) Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
d) Memeperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut.
e) Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai mana dimaksud pasal 14 ketetapan ini.
f) Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
g) Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM DI INDONESIA
Uraian di atas
menunjukkan kita bahwa secara umum kita sudah mempunyai landasan formal yang
cukup untuk melaksanakan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam
pelakanaan pembangunan nasional di negeri kita. Kemudian secara sektoral baik
yang berkenaan dengan sumber daya alam pada umumnya walaupun untuk sektor yang
bersifat khusus seperti sektor kehutanan dan lain-lain.
Namun apakah dalam
realitanya memang sudah seperti apa yang digariskan dalam ketentuan dimaksud?
Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup Tap IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004 menentukan :
konsep pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun
dalam pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam
yang tidak terkendali dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu
pelestarian alam; ungkapan ini menunjukkan adanya pengakuan dari lembaga
tertinggi negara kita tentang masih belum terlaksananya pembangunan yang
berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam”
Hal senada dapat juga
dilihat dalam konsideran Tap IX/MPR/2001 yang menyatakan bahwa pengelolaan
sumber daya agraria/ sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan strukutur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.
Kemudian disebutkan pula bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya agraria atau sumber daya alam saling tumpang
tindih dan bertentangan.
Persoalan ini bukan hanya dihadapi di Indonesia akan tetapi juga berlaku secara global dan proses globalisasi itu sendirilah sebenarnya yang memperlemah pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, seperti yang dikatakan oleh Martin Khor bahwa dalam penjelasanya, proses globalisasi telah semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin menenggelamkan agenda pembangunan yang berkelanjutan (Khor, 2002 :56)/
Dalam tulisannya, Sonny keraf menyebutkan ada dua penyebab kegagalan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menurut pendapatnya salah satu sebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, paradigma tersebut kurang dipahami sebagai memuat prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Paradigma ini tidak dipahami sebagai bentuk prinsip pokok politik pembangunan itu sendiri. Pada akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan dibalik paradigma tersebut tidak tercapai. Karena, prinsip politik pembangunan yang seharusnya menuntut pemerintah dan semua pihak lainnya dalam rancang dan mengimplementasikan pembangunan tidak dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukti sebuah konsep tentang pembangunan lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan. Dalam arti ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut tidak dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung di dalamnya tidak akan terwujud (Keraf, 2002 : 176).
Alasan kedua, menurut Sonny Keraf mengapa paradigma itu tidak jalan, khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Janeiro sepuluh tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi mengusulkan kembali pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir ini, tidak banyak perubahan yang dialami semua negara di dunia dalam rangka mengoreksi pembangunan ekonominya yang tetap saja sama, yaitu penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dengan segala dampak negatifnya bagi lingkungan hidup, baik kerusakan sumber daya alam maupun pencemaran lingkungan hidup (Keraf, 2002 :167-168).
Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu titik terendah, menurut Martin Khor, namun muncul juga tanda kebangkitannya kembali sebagai suatu paradigma. Keterbatasan dan kegagalan globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi negatif dari sebagian masyarakat yang pada akhirnya mungkin akan berdampak pada terjadinya perubahan sejumlah kebijakan. Dengan munculnya kekuatan pro pembangunan berkelanjutan dalam pemerintahan di negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka menjadi lebih sadar akan hak-hak dan tanggungjawab untuk meralat berbagai persoalan yang ada pada saat ini termasuk mengubah sejumlah peraturan dalam WTO. World Summit On Sustainable Development – WSSD (Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan) memberikan kesempatan yang bagus untuk memusatkan kembali perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan semata-mata mengenai persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser paradigma-paradigma (Khor, 2003 : 6).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia patut di catat penilaian dari D. Pearce & G Atkinson dalam tulisanya “A Measure of Sustainable Development” (Ecodecision, 1993 : 65) sebagaimana dikutip oleh Soerjani,. Dua penulis ini menilai pembangunan Indonesia dinilai masih belum sustainable. Hal ini dengan alasan bahwa depresiasi sumber daya alam Indonesia besarnya adalah 17% dari GDB, sedangkan invesmennya hanya 15 %. Pembangunan itu baru dinilai sustainable dalam memanfaatkan sumber daya alam itu melalui rekayasa teknologi dan seni, sehingga kalau yang kita konsumsi nilai tambahnya, sangat mungkin dapat ditabung untuk invesment senilai 17% atau bahkan lebih. Jadi jelas bahwa kemampuan sumber daya manusia untuk memberi “nilai tambah” sumber daya pendukung pembangunan melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan kunci apakah pembangunan yang dilaksanakan itu “sustainable” berkelanjutan, berkesinambungan atau tidak (Soerjani,1997 :66-67)
Dengan demikian sekalipun secara formal sudah jelas pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia harus berupa Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Hidup tetapi masih baru berupa das solen dan melalui perangkat hukum diharapkan dapat diwujudkan pada tataran das sein. Namun keberhasilan ini masih tergantung pada banyak faktor, selain faktor yang bersifat yuridis, juga politis dan budaya termasuk kondisi sumber daya manusia yang menjadi pelaksanaanya.
Persoalan ini bukan hanya dihadapi di Indonesia akan tetapi juga berlaku secara global dan proses globalisasi itu sendirilah sebenarnya yang memperlemah pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, seperti yang dikatakan oleh Martin Khor bahwa dalam penjelasanya, proses globalisasi telah semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin menenggelamkan agenda pembangunan yang berkelanjutan (Khor, 2002 :56)/
Dalam tulisannya, Sonny keraf menyebutkan ada dua penyebab kegagalan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menurut pendapatnya salah satu sebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, paradigma tersebut kurang dipahami sebagai memuat prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Paradigma ini tidak dipahami sebagai bentuk prinsip pokok politik pembangunan itu sendiri. Pada akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan dibalik paradigma tersebut tidak tercapai. Karena, prinsip politik pembangunan yang seharusnya menuntut pemerintah dan semua pihak lainnya dalam rancang dan mengimplementasikan pembangunan tidak dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukti sebuah konsep tentang pembangunan lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan. Dalam arti ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut tidak dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung di dalamnya tidak akan terwujud (Keraf, 2002 : 176).
Alasan kedua, menurut Sonny Keraf mengapa paradigma itu tidak jalan, khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Janeiro sepuluh tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi mengusulkan kembali pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir ini, tidak banyak perubahan yang dialami semua negara di dunia dalam rangka mengoreksi pembangunan ekonominya yang tetap saja sama, yaitu penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dengan segala dampak negatifnya bagi lingkungan hidup, baik kerusakan sumber daya alam maupun pencemaran lingkungan hidup (Keraf, 2002 :167-168).
Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu titik terendah, menurut Martin Khor, namun muncul juga tanda kebangkitannya kembali sebagai suatu paradigma. Keterbatasan dan kegagalan globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi negatif dari sebagian masyarakat yang pada akhirnya mungkin akan berdampak pada terjadinya perubahan sejumlah kebijakan. Dengan munculnya kekuatan pro pembangunan berkelanjutan dalam pemerintahan di negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka menjadi lebih sadar akan hak-hak dan tanggungjawab untuk meralat berbagai persoalan yang ada pada saat ini termasuk mengubah sejumlah peraturan dalam WTO. World Summit On Sustainable Development – WSSD (Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan) memberikan kesempatan yang bagus untuk memusatkan kembali perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan semata-mata mengenai persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser paradigma-paradigma (Khor, 2003 : 6).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia patut di catat penilaian dari D. Pearce & G Atkinson dalam tulisanya “A Measure of Sustainable Development” (Ecodecision, 1993 : 65) sebagaimana dikutip oleh Soerjani,. Dua penulis ini menilai pembangunan Indonesia dinilai masih belum sustainable. Hal ini dengan alasan bahwa depresiasi sumber daya alam Indonesia besarnya adalah 17% dari GDB, sedangkan invesmennya hanya 15 %. Pembangunan itu baru dinilai sustainable dalam memanfaatkan sumber daya alam itu melalui rekayasa teknologi dan seni, sehingga kalau yang kita konsumsi nilai tambahnya, sangat mungkin dapat ditabung untuk invesment senilai 17% atau bahkan lebih. Jadi jelas bahwa kemampuan sumber daya manusia untuk memberi “nilai tambah” sumber daya pendukung pembangunan melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan kunci apakah pembangunan yang dilaksanakan itu “sustainable” berkelanjutan, berkesinambungan atau tidak (Soerjani,1997 :66-67)
Dengan demikian sekalipun secara formal sudah jelas pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia harus berupa Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Hidup tetapi masih baru berupa das solen dan melalui perangkat hukum diharapkan dapat diwujudkan pada tataran das sein. Namun keberhasilan ini masih tergantung pada banyak faktor, selain faktor yang bersifat yuridis, juga politis dan budaya termasuk kondisi sumber daya manusia yang menjadi pelaksanaanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar